Ah enak
banget denger Leesang blues pas inget dia. Mengantar ingatan ke masa lalu,
balada lembut seakan dia meminta untuk memanggil masa itu.Dia yang dulu pas
zaman smp selalu gw deklarasiin sebagai abang gw. Jawaban yang selalu gw kasih
ke anak-anak kalo gw udah aktraktif bertingkah dengan hal tentang dia.
Kalo
dipikir-pikir,waktu itu gw sendiri ga sadar sama perasaan gw ke dia. Hanya
tertarik mengganggu dia,karena dia dengan dewasanya menanggapi santai. Kadang
bersikap melindungi dan menjadi kakak dengan cool-nya.
Gw sekarang
tersenyum-senyum sendiri,ingat kenakalan gw.
Untuk gw
yang sekarang bersikap menjaga jarak dengan kaum adam, ingatan itu semacam
kenangan manis buat gw.
Ingat
telinganya yang memerah,dengan pandangan menunduk kikuk ke meja tulisnya, di
depan gw. Tepat di depan gw.
Tunggu gw
sedikit lupa,apa yang waktu itu gw lakuin sampe reaksi dia jadi begitu.
Ah ya, dia
si pintar matematika, si kacamata gw, saingan gw...
Gw meminta
dia ngajarin gw matematika, karena waktu itu gw dan dia menjadi finalis untuk olimpiade utusan
dari sekolah gw.
Gw si bodoh
yang punya optimistis gede, yang udah baca beberapa buku pembahasan matematika,
ngerasa perlu minta dia buat ngajarin gw. Dia si jenius gw, si anak guru, yang
hanya perlu sedikit waktu untuk membahas soal-soal yang gw anggap aneh.
"ajarin
ade.." gw bilang waktu itu tepat di depan meja dia. posisi meja dia yang
tepat di depan meja guru, di tengah-tengah keributan temen-temen ngobrol.
"hah?"
jawab dia masih dengan terpekur.
"kan
kamu pinter, ajarin ade kalo gitu. Ini..yang ini..." gw julurkan buku yang
sudah dicoret disana-sini.
"ga
mau, ade pinter...selesaikan sendiri.masa gitu aja ga bisa..."
Kenapa dia
ga mengangkat mukanya juga? Ayolah, masa sombong sekali anak ini?
"karena
ade ga bisa makanya minta diajarin sama kamu...ya,ya..."
dia
menggeleng, masih dengan pandangan ke bukunya.
Apa sih
yang dia baca sampe gw dicuekin segininya?
"kenapa?"
gw mendesak seperti sikap gw yang biasa.
Dia
diam, gw mulai menyerah. Gw tegakkan
bahu dari bersandar di mejanya.
Gw hela
nafas, tapi tunggu! Kenapa, kenapa telinga anak ini memerah?
"sejak
kapan telingamu memerah gitu? Sakit kah?" gw sentuh ujung telinganya.
Badannya menegang.
Ditepisnya tangan gw. Ga mengatakan apapun, hanya terdiam masih belum
mengangkat wajahnya.
Ini anak
kenapa? Apa di wajahnya ada panu yang gede? Tanya gw sambil meninggalkan
mejanya, kembali ke meja gw.
Kali ini gw
kembali ke masa gw lebih kecil lagi. Tepatnya pas kelas 6. Gw kembali
berpasangan kompetisi dengan si kacamata gw. Waktu itu awal gw menyadari bakat
musik dalam diri gw. Awal gw mulai menyukai musik.
Wali kelas
memaksa gw untuk mendampingi si kacamata dalam lomba pianika antar sd. Alat macam
apalah itu. Gw bahkan belum pernah memainkan alat itu sebelumnya. Berbekal
nekat, gw belajar sendiri mencari not nadanya. Ini gara-gara kakak gw salah
beli buku panduan nyanyi. Tugas lagu gw berjudul "di atas pohon
cemara" dan "minagkabau", tapi kakak gw malah beli buku
lagu-lagu nasional. lagu minangkabau ga ada masalah, gw udah sering dengar mami
gw melantun sendiri, tapi di atas pohon cemara ini, ah kenapa gw ga pernah
dengar lagu ini sebelumnya? Gw akhirnya minta temen gw untuk menyanyikan lagu itu
sampe gw hafal iramanya. Di rumah gw mulai latihan pencet sana,pencet sini
sampe ketemu nada yang pas sesuai dengan lagu tersebut.
Akhirnya
hari sabtu datang. Tanpa tau nada yang tepat untuk lagu tersebut, gw dan dia
siap untuk berlomba.
Yang
pertama memulai adalah dari regu sekolah lain. Gw menyimak lagunya, ah! Ada
beberapa irama gw yang berbeda! Apa boleh buat. Ga ada waktu lagi mengubahnya,
gw tetep maju dengan nada gw. Yah, setidaknya waktu gw latihan kemaren masih
nyaman kedengaran.
Pas giliran
gw. Lagu pertama aman. Sekarang nervous gw makin meningkat. Setengah pede gw
mainkan nada gw. Pas di irama yang berbeda itulah gw mulai ragu. Tuts yang mana
lagi ya yang harus gw tekan? Gw ulang lagi dari awal irama tersebut.
"iramanya
begini..." bisik si jenius gw dari samping.
Gw melirik
serba salah ke arah perwakilan sekolah lain, ke juri, ke guru gw, tapi ga
berani melirik dia.
Akhirnya
nada itu selesai di tangan gw dengan kacau balau. Gw tertunduk setelahnya.
Giliran si kacamata gw sekarang.
Sial, dia
memainkan dengan lancar. Di beberapa not, dia memang terengah-engah.tapi sejauh
ini lancar menurut gw.
Semua
berakhir, kami mulai membereskan peralatan dan bersiap untuk pulang, pengumuman
pemenang seminggu lagi.
Gw sengaja
membereskan pianika gw dengan lambat, ga berselera untuk ketemu guru gw setelah
kegagalan gw.
"kenapa
kemaren ga ke rumah aja belajarnya de?"
Gw menoleh,
bersitatap dengan si jenius gw. Teman bicaranya saat ini adalah gw.
"nggg...
Ga enak, pasti kamu juga lagi belajar kan?" gw memandang ga enak hati ke
arahnya. Setelah bantuannya tadi, gw semakin merasa kecewa sama diri sendiri.
Taw gini kemaren gw iyain aja pas mami nyuruh ke rumah anak sahabatnya itu.
"besok-besok,
kalo ada yang ga ngerti, tanyain aja. Oke?"
Dia
melangkah keluar, gw mengekor dari belakang.
Tepat di
depan kelas, guru gw berjalan menghampiri kami.
"gimana
rasanya anak-anak? Ga perduli siapa yang menang, kita ambil ini sebagai
pengalaman bagi kalian untuk berkompetisi. Gimana? Mau langsung pulang sama
ibu?"
Gw
tertunduk.
"ade,
mau pulang bareng ibu?"
"kalo
ga mau, bilang sama ibu nanti pulangnya bareng aku" bisiknya di belakang
gw. Gw rasa saking dekatnya jarak, hanya gw yang mendengar itu.
"nanti
bu, ade pulang nanti..." kata gw lirih sambil takut-takut memandang wajah
guru olahraga gw itu. Beliau mengangguk paham dan meninggalkan gw dan dia.
"nanti
kita balik ke sekolah lagi emangnya?"
Si kacamata
gw ga menjawab, hanya melenggang meninggalkan gw menuju perlombaan lainnya.
Ini cerita saat
gw dan dia udah mulai gede. Udah berpisah selama 4 tahun, karena keputusan gw
untuk mengikuti jejak almh mami, berpetualang di pesantren, gw meninggalkan
dia, temen-temen gw dan kisah kami.
Dia udah
kuliah setahun lebih dulu dari gw. Sama-sama merantau dengan kota yang
menjaraki.
Kalo lagi
suntuk, gw sering main ke kota dia, mengunjungi sahabat gw yang juga menuntut
ilnu disana. Kunjungan pertama, gw beranikan mengajak si jenius gw ketemuan.
Alasannya pengen lihat kampus hutan itu. Pagi itu, bareng sahabat-sahabat gw,
belum mandi apalagi ganti baju, kita lari pagi kesana. Dia janji nungguin gw di
depan kampusnya.
Dan gw
akhirnya ketemu dia lagi, yang berdiri rapi dengan baju garis-garis menyandang
tas punggungnya, dengan sepatu kets rapi. Gw, pagi itu jam setengah 7, dengan
tampang baru bangun tidur ditarik lari pagi, berdiri disana memandang dia,
menahan tawa menyapa.
Lihatlah
dia disana, si kacamata gw, menunduk salah tingkah begitu dia tau gw yang
melambaikan tangan. Perkenalan dia dan sahabat-sahabat gw berjalan canggung
dengan godaan mereka saat melepas kami pergi. Gw kasian liat tampang dia yang
menyembunyikan malu di balik senyumnya, memutuskan untuk meninggalkan
temen-temen usil gw, dan bersamanya mengelilingi kampus hutan itu. Disana awal
gw kembali bertemu dia, gw mengerti dengan hati.
Esoknya, gw
janjian lagi ketemu dia. Kemaren sahabat-sahabat gw ga ngelepasin gw untuk
jalan bukan dengan mereka, its time to the girls! Sahut mereka,yang gw
anggukkan dengan setengah hati.
Kali ini gw
yang nunggu dia di depan asrama temen gw. Dia datang setengah jam setelah itu.
Gw kali ini 3x lebih grogi dari kemaren. Ada yang mendesak ingin ketemu dia
lagi. Dia yang bernama hati lebih pengen ketemu si kacamata dibanding gw.
Gw mengajak
dia mengelilingi mall kampusnya yang berada di tengah kota itu.
Tunggu..ini
playlist random kenapa muterin lagunya dari i need a girlnya taeyang, this is
minenya wondergirls, love is only you nya AOA sampe you're the answer for me
nya Leessang. Apaaaa coba? Bikin makin melankolis gw!
Balik lagi
ke cerita gw tadi. Sepanjang jalan banyak hal yang kita obrolin, tepatnya yang
gw obrolin. Kenapa ini anak ga memulai pembicaraan duluan? Bahas topik apa
gitu, biar gw jangan malu ketauan bawelnya!
"di
mall itu lagi ada acara jurusan, bakal banyak ketemu temen-temen aku de.ga papa
kan?"
Gw
mengangguk bingung. Terus kalo ketemu temen kampus dia emangnya kenapa?
Sepanjang
jalan gw dibelakang dan si kacamata gw di depan. Kita cuma diam-diaman, lagian
bingung gw, maw angkat apa lagi buat diobrolin coba?
Keliatan
banget dia ngayomin gw. Pas nyebrang dia ngulurin tangan yang bersambut udara.
Gw canggung cepat meraih tasnya yang di punggung. Kita jalan bersisian
sekarang.
Baru saja
memasuki lobby mall itu, gw baru sadar si kacamata masuk dengan wajah tertunduk,
melangkah tergesa tanpa menghiraukan gw yang ketinggalan di belakangnya.
"hei
yang dibawah sana!! Ayo lo bareng siapa tuh!" sebuah pekikan terdengar
dari atas, entah untuk siapa tujuannya. Gw iseng mengangkat kepala. Mereka,
beberapa orang cowok dan cewek sebaya gw, sedang tertawa-tawa tepat di lantai
atas menunjuk ke suatu arah di depan gw. Gw lihat si jenius gw yang menjadi
bahan tertawaan mereka. Sementara yang bersangkutan melambai-lambai jengah ke
arah mereka.
"ayo
de! Ga usah peduliin mereka..." dia menoleh ke gw. Mau ga mau gw ikuti
langkahnya berjalan meninggalkan keramaian tersebut.
"temen-temennya?
Rame banget, ada acara apa?"
Dia melirik
sekilas ke arah gw. "acara yang tadi aq bilang, diadain sama anak kampus
disini..."
Gw
mengangguk-angguk. Keren banget ya, acara jurusan aja ngadainnya di mall.
Ckck...
"mau
lihat-lihat apa nih de?" gw perhatiin sekeliling, suasana ga jauh beda
sama mall mewah deket kampus gw. Barang-barang mahal yang gw gtw kapan bisa
rela belinya. Gw menggeleng. Ga ada yang menarik sebenarnya.
"kita
ke supermarket bentar kalo gitu."
Jadilah gw
hari itu nemenin si kacamata muter-muter nyari pengharum ruangan. Ga penting
sebenarnya, tapi gw menikmati.
Hari idul
adha kedua gw sendirian di rantau. Gw udah berada di kota ini bersama
sahabat-sahabat gw sejak 2 hari yang lalu. Hari ini gw dan anak-anak cuma
berdiam diri di kontrakan temen gw karna hujan turun tiba-tiba siang ini.
Rencana gw untuk nonton di bioskop bareng mereka batal sudah. Iseng gw raih hp.
Lebaran dimana tahun ini?
Message sent.
Pesan itu
terkirim ke seberang sana. Gw pelototin itu hp selama beberapa menit, tapi ga
ada balasan dari si kacamata. Bosan, gw letakkan lagi itu hp, beranjak menuju
anak-anak yang lagi nonton tv. Baru berapa langkah gw tinggalin, hp gw
berdering.
Message received
Di sini aja sama anak kosan. Hehe. Ade lebaran dimana?
Sambil
senyum-senyum ditahan gw baca pesannya. Beberapa pesan yang gw kirim setelahnya
juga sukses dibalas. Sekian lama ga taw maw obrolin apa lagi, gw ingat sesuatu.
Gw gerakkan langkah ke depan tv.
"eh,besok
kalian udah mulai ke kampus ya?" temen-temen gw mengangguk kesal.
Keberatan karena gw menghalangi pandangan mereka dari layar tv.
"gw
pulang lusa gapapa ya?" gw kerjap-kerjap mata membujuk izin mereka.
Kemudian gw duduk menyelinap di tengah-tengah.
"boleh,
tapi sendirian di rumah gapapa?"
Gw jawab
dengan lambaian tangan pertanda mereka jangan khawatir soal itu.
Besok
paginya gw udah berdiri rapi di seberang kontrakan temen gw. Gw berangkat
bareng sama mereka yang menuju kampus. Sebenarnya ini masih dalam liburan
lebaran, tapi berhubung mereka jadi panitia acara di kampus, dengan senang hati
gw menerima alasan mereka meninggalkan gw.
Yap! Hari
ini si kacamata gw janji nemenin gw. Alasan gw sih karena gw bengong sendirian
di rumah sampe sore. Si kacamata pun berbaik hati ngebawa gw jalan-jalan lagi.
Tapi... Ini
udah setengah jam semenjak waktu janjian ketemu lewat. Setengah jam lagi dia ga
datang, gw bakal balik lagi ke kontrakan. Satu alasan karena janjiannya bakal gw
batalin, alasan lainnya karna gw... Laper.
Ga lama
setelah gw bolak-balik ngedumel sendirian, duduk cemberut sambil liat jam
sesekali, satu angkot perlahan berhenti di depan gw. Dia, turun dengan
jumawanya, sekilas tersenyum ke gw sambil kemudian sibuk menerima kembalian.
Ampuuun, ga
ada kata maaf udah bikin gw nunggu apa?omel gw dalam hati. Dalam hati doang
beraninya, nyatanya di depan dia senyum manis yang gw pamerin.
"jauh
bener ya kosannya?" Kick! Bener-bener gw ga bisa nahan kesal barang
sebentar aja. Senyum dia berubah jadi senyum ga enak hati. Lupakan! Hari ini gw
mau semuanya lancar! Lirih gw berucap doa penenang hati.
Dia
mengajak gw ke venue yang sama lagi. Mall kampusnya.
"emangnya
kemaren mau nonton bareng film apa sama temen-temennya de?"
Gw saat itu
sedang termangu menatap poster Twilight di depan 21. Aduh! Ga ada film lain nih? Gw lirik poster-poster lain yang
berderetan, ga ada pilihan aman untuk gw. Nonton Twilight bareng cowok? Bareng
bapake aja gw malu apalagi bareng dia!
"Emak
ingin naik haji! Iyah, itu kemaren yang pengen kita nonton. Tapi kayanya disini
ga ada ya? Apa kita cari tempat lain aja?" cerocos gw canggung. Dia
mengangguk setuju dengan pilihan gw.
Siang
beranjak menjadi sore. Si kacamata memutuskan agar kita segera pulang. Di
angkot kosong itu gw duduk sendirian di belakang. Kenapa? Ini bukan taksi yang
kendaraan umum untuk pribadi, tapi angkutan umum, yang siapa saja bisa duduk
dalam jumlah banyak dibelakang sini. Tapi kenapa dia malah duduk di samping
supir dan gw duduk sendirian di belakang? Gw menghela nafas.
Gw kembali
pada ritual rutin,kuliah dan kegiatan organisasi lainnya. Semua kembali biasa
aja baik hati gw dan pikiran gw. Tugas kuliah yang menumpuk merampas pikiran
gw. Sampai sore itu, gw yang sedang dalam perjalanan balik dari perpustakaan
umum, menerima pesan dari si jenius gw.
Aslmkm ade. Apa kabar? Lagi sibuk apa nih?
Gw agak
kaget sebenarnya dapat pesan dari dia. Gw, seseorang yang bisa dibilang angkuh
dengan emosi gw, berprinsip jangan perlihatkan rasa suka dengan sering mengirim
pesan atau sekedar iseng bertanya kabar padanya. Cukup tunjukkan saja saat di
depannya. Iseng berkirim pesan, gw bijak mengambil pelajaran dari masa lalu,
hanya akan memupuk perasaan yang ga jelas di dalam hati.
Berhubung
dia yang memulai bertanya kabar, gw berusaha membalas dengan ceria seperti
biasanya. Setelah gw menjawab dan menerima balasan akan kabarnya, biasanya
pembicaraan kita akan berlanjut dengan topik-topik ga penting untuk beberapa
pesan ke depan. Sampai akhirnya buntu pembicaraan lagi dan dia berhenti
membalas pesan gw. Gw maklum, sebelum-sebelumnya dia juga kadang seperti ini.
Saat gw kosong dengan pikiran akan si kacamata ini, maka sebuah pesan darinya
akan gw terima. Sesekali dia bilang akan datang ke kota gw untuk mengunjungi
saudaranya, dia bilang ingin datang ke kampus gw. Pernah saat seorang temen smp
kita datang ke kotanya, si jenius gw mengirim pesan ke gw agar datang juga ke
kotanya. Saat gw tanya ke temen gw itu, dia bilang kalau saat dia ingin bertemu
si kacamata, cowok aneh ini malah minta temen gw itu untuk sms gw agar gw
datang ke kota itu. What?? Apa gw kelihatan segitu penganggurannya, kenapa
mereka ga jalan aja sendiri. Kenapa harus ada gw-nya? Betapa terganggunya
perasaan gw!! Seperti telur yang sedang digoreng, belum matang benar di satu
sisi, sudah dibalik ke sisi sebelahnya, dan begitu sisi lain akan matang, telur
sudah diangkat saja. Maka jadilah gw telur ceplok setengah matang!
Gw sesaat
ingat suatu masa saat gw dan dia smp. Menjelang ujian kenaikan kelas, sebelum
sekolah sore. Teman-teman gw masuk membawa berita. Si jenius gw suka dengan
cewek dari kelas lain. Gw menutup komik yang tinggal beberapa halaman lagi
dengan gusar. Ga gw perhatiin lagi apa yang diobrolin temen-temen gw.
Sepulang
sekolah, gw nungguin temen ngerjain piket bareng si kacamata. Biasanya sekali
seminggu kita akan satu mobil karna keadaan ini. Tapi sore ini, yang gw tunggu
bukan cuma temen gw.
Begitu
piketnya kelar, setelah mengunci pintu kelas, gw tahan langkah agar berjalan bersisian
dengan si kacamata di balik punggung temen-temen gw.
"gosipnya
bener ga?" bisik gw tanpa basa basi padanya. Dia menoleh, menatap bingung
dengan maksud gw.
"kamu
beneran suka sama cewek itu?" dia menggeleng, kembali menatap ke depan. Gw
menghembuskan nafas lega.
"kamu
kan masih pelajar, jangan pacaran dulu ya. Nanti kalo ga juara umum lagi
gimana?" bisik gw pelan sekali. Gw rasa dia dengar, karna dia bilang
"iya ade, ga kepikiran untuk pacaran kok,"
Lega, gw
tepuk tasnya sambil nyengir gembira, lantas berlari menyusul teman-teman gw.
Cerita kali
ini menjelaskan kenapa akhirnya gw memaksa diri berhenti tersenyum memikirkan
dia, berhenti menunggu pesan darinya. Malam entah kapan, gw lagi buka-buka
facebook. Baru juga di halaman home,
mata gw menangkap sebuah foto dari account
si kacamata. Fotonya bersama seorang cewek dengan pose dekat tersenyum
menghadap kamera. Dengan debar hati yang lain, gw buka comments foto itu. Penuh dengan candaan dan tawa dari teman-teman
kampus si kacamata. Sejenak gw mencoba berfikir lurus. Ah, daripada
bertanya-tanya, lebih baik gw tanya ke orangnya langsung. Tapi gimana cara
nanya yang bijak agar gw sendiri ga menyesal nantinya?
Gw iseng
aja sekedar bertanya kabar. Kebetulan si kacamata online. Jawaban dia seperti cara dia biasanya menyikapi gw. Gw
pengen langsung shoot pada pertanyaan
utama gw kali ini, tapi masih ragu apakah cara gw bener atau ga.
Wah, kayanya rame banget komen di fotonya. Foto sama
pacar ya?
Ga pake
lama, langsung ada balasan dari dia.
Hehe, iya nih.tapi bukan itu orangnya...hehe
Dia masih
bales dengan ketawa?! ada yang lucu apa dengan pertanyaan gw? Dia ga taw aja
kalo gw lagi kebat kebit nunggu jawaban yang ga bakal bikin gw sedih. Dan dia
menjawab apa tadi, bukan itu orangnya? Berarti...
Maksudnya?
Pacarku temennya yang di foto itu de, yang ikutan
komen juga?
Hyuuung,
Berasa gw baru jatuh ke lautan yang dalam, sambil menggapai kosong ke arahnya.
Kali itu, gw kembali cengeng. Gw udah sadar dari dulu bahwa jangan terlalu
berharap pada sesuatu yang belum pasti. Gw bahkan berusaha mengendalikan
perasaan ke arahnya. Gw taw bahwa gw sendiri yang menciptakan harapan itu.
Harapan bahwa dia masih mengingat janjinya. Janji yang mungkin hanya gw sendiri
yang mematrinya. Dia sebenarnya ga terlibat dengan masalah gw ini. Ini tentang
gw dan hati gw, tapi tentang dialah tema masalah gw ini. Gw yang berfikir akan
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi karna tindakan dan sikapnya.
Gw....mengumpulkan puzzle yang salah. Puzzle milik orang lainlah yang gw coba
cocokan pada gambaran gw, padahal gambar kami sama abstraknya.
Semenjak
itu, gw menjauh i perasaan gw sendiri. Hari itu benar bahwa gw menangis, benar
bahwa gw merasa terluka. Gw mengalah pada perasaan gw sendiri untuk
menghindarinya. Untuk berkata benci pada namanya. Pada dia, si jenius
berkacamata gw, yang tanpa gw sadari, menjadi cermin untuk gw saat
merefleksikan sosok cowok yang akan masuk dalam hati gw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar